"Pada suatu malam saya merasakan adanya suatu perasaan yang anih di dada peserta pengajian, iaitu perasaan perpecahan. Saya melihat bahawa para peserta pengajian telah mulai berkelompok dengan sesamanya, sehinggakan dalam mengambil tempat pun sendiri-sendiri. Belum sempat pengajian bermula, tiba-tiba saya dikejutkan dengan sebuah pertanyaan,"Bagaimana pendapat Ustaz mengenai tawassul?"
Saya katakan kepadanya, "Wahai akhi, saya yakin bahawa engkau tidak hanya ingin bertanya tentang ini saja, kan? Engkau juga ingin bertanya tentang membaca salawat setelah azan, bacaan surah al-Kahfi pada hari Jumaat, kata sayyidina untuk Rasulullah SAW dalam doa tasyahud, tentang bacaan Al-Quran, apakah pahalanya sampai kepada mayat atau tidak, juga tentang halaqah-halaqah yang diadakan oleh ahli tarikat,apakah hal itu merupakan bentuk kemaksiatan ataukah taqarrub kepada Allah."
Saya sengaja mengungkapkan kepada mereka tentang berbagai masalah khilafiyah yang menjadi sebab terjadinya fitnah dan perselisihan keras di antara mereka. Ia pun hairan terhadap apa yang baru saya kemukakan. Dia menjawab, "Ya, benar. Saya memang ingin jawapan mengenai itu semua."
Saya katakan kepadanya, "Wahai Akhi, saya ini bukan ulama. Saya hanyalah seorang guru biasa yang hafal sebahagian dari ayat-ayat Al-Qur'an, sebahagian hadis Nabi, serta sebahagian dari hukum-hukum agama yang kubaca dari beberapa kitab, lalu saya berupaya mengajarkannya kepada orang lain. Jika engkau membawaku keluar dari lingkungan ini, bererti engkau telah membuatku mengalami kesulitan. Oleh kerananya, jika apa yang akan saya katakan dapat memuaskanmu, itulah yang saya inginkan dan silakan dengar. Namun jika engkau menginginkan jawapan dan pengetahuan yang lebih luas, maka tanyakanlah kepada selainku. Tanyakan kepada para ulama yang ahli. Merekalah yang mampu memberikan fatwa kepadamu mengenai apa yang engkau inginkan itu. Adapun saya, hanya inilah keilmuan yang kumiliki. Allah tidak membebani seorang hamba melainkan setakat kesanggupannya."
Saya sengaja mengambil cara seperti ini untuk memudahkan sahaja, sekalipun sebenarnya saya tahu bahawa si penyoal itu tidak memperolehi sesuatu jawapan. Para hadirin, atau paling tidak sebahagian besar dari mereka, merasa lega dengan penyelesaian seperti ini.
Namun saya juga tidak ingin kehilangan kesempatan. Kerana itulah saya katakan kepada mereka, "Wahai ikhwan sekalian, saya sebenarnya tahu betul bahawa di sebalik pertanyaan saudara penyoal tadi, dan banyak dari kalian, hanya ingin mengetahui tentang guru kalian yang baru ini (Hasan al-Banna); termasuk kelompok mana? Apakah saya masuk dalam kelompok Syaikh Musa ataukah kelompok Syaikh Sami? (2 golongan Islam yang besar pada waktu itu).
Pengetahuan kalian tentang hal ini sama sekali tidak akan membawa manfaat bagi kalian. Kalian sudah tenggelam dalam iklim fitnah selama lapan tahun. Itu sudah cukup. Masalah-masalah seperti ini sebenarnya telah diperselisihkan oleh kaum muslimin selama ratusan tahun lamanya dan mereka masih saja berselisih. Meskipun demikian, Allah SWT tetap redha apabila kita saling mencintai dan saling menjalin perpaduan. Allah SWT benci apabila kita berselisih dan berpecah belah.
Oleh kerana itu, saya berharap agar kalian berjanji kepada Allah untuk dapat meninggalkan persoalan-persoalan seperti ini mulai sekarang. Lalu kita bersungguh-sungguh untuk bersama-sama mempelajari dasar-dasar agama dan kaedah-kaedahnya, mengamalkan ajaran-ajaran agama secara umum dan yang kita sepakati bersama, serta kita amalkan kewajipan-kewajipan dan sunnah-sunnahnya sekaligus.
Kita tinggalkan sikap takalluf (mengada-ada) dan ta'ammuq (terlalu dalam menyelami persoalan) agar jiwa kita dapat jernih. Tujuan kita hanyalah mengetahui kebenaran, bukan sekadar memenangkan suatu pendapat. Kalau sudah begitu, kita semua secara bersama-sama berupaya mempelajari berbagai persoalan ini dalam naungan rasa cinta, saling percaya, persatuan, dan keikhlasan. Saya berharap agar kalian dapat menerima pendapatku ini dan agar hal ini menjadi suatu janji di antara kita.
Saya bertanya kepada mereka, "Siapa di antara kalian yang bermazhab Hanafi, ke mari!" Salah seorang dari mereka maju. Saya bertanya lagi, "Siapa di antara kalian yang bermazhab Syafi'i?" Salah seorang dari mereka maju. Saya katakan kepada mereka, "Saya akan salat sebagai imam bagi kedua akhi kita ini. Apa yang akan engkau lakukan semasa saya membaca surah selepas membaca al-Fatihah, wahai akhi yang bermazhab Hanafi ?" "Saya akan diam saja dan tidak membaca apa-apa!" jawabnya. "Akhi yang bermazhab Syafi'i, apa yang engkau lakukan?" tanyaku. Ia menjawab, "Saya tetap harus membaca al-Fatihah!"
Saya bertanya lagi, "Jika kita telah selesai menunaikan salat, bagaimana pendapatmu, wahai akhi yang bermazhab Syafi'i, tentang salat saudaramu yang bermazhab Hanafi ini?" Ia menjawab, "Salatnya batal, kerana tidak membaca al-Fatihah, kerana al-Fatihah merupakan salah satu rukun salat!"Saya lantas bertanya lagi, "Lalu bagaimana pendapatmu, wahai akhi yang bermazhab Hanafi, tentang salat saudaramu yang bermazhab Syafi'i ini?" Ia menjawab, "Ia telah melakukan tindakan makruh yang bersifat haram (makruh tahrim)!"
Saya bertanya lagi, "Adakah satu kesalahan seorang dari kalian berdua menolak pendapat yang seorang lagi?" Keduanya menjawab, "Tidak!" Saya bertanya pula kepada hadirin, "Apakah suatu kesalahan kalian menolak pendapat salah satu dari kedua akhi kalian ini?" Mereka menjawab, "Tidak!"
Maka saya pun berkata, "Subhanallah, Maha Suci Allah. Adalah lebih baik kita berdiam diri dan memaklumi permasalahan seperti ini, daripada mempertikaikan sah atau batalnya salat dalam tasyahudnya mengucapkan: Allahumma salli 'ala Muhammad atau Allahumma salli 'ala sayyidina Muhammad, atau perlunya menggerak-gerakkan jari semasa tasyahud, dan kalian jadikan hal ini sebagai perselisihan yang tak kunjung habis."
Hasan al-Banna
Saturday, 24 March 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment