Saturday, 21 April 2007

Tiga Jenis Nafsu


Para pengembara jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan beragam cara dan metode bersepakat bahawa nafsu adalah faktor yang menghalangi hati untuk sampai kepada Allah. Mereka juga bersepakat, tidak ada seorang pun yang dapat masuk dan sampai kepada Allah kecuali jika sudah menundukkan, menyisihkan dan memenangi pertarungan atasnya. Begitulah, manusia itu ada dua kelompok. Pertama, manusia yang dikalahkan, dikuasai dan dihancurkan oleh hawa nafsunya. Ia benar-benar tunduk di bawah perintahnya. Kedua, manusia yang berhasil memenangi pertarungan melawannya. Ia mampu mengekangnya, menundukannya, dan nafsu pun tunduk di bawah perintahnya.

Sebahagian orang arif berkata, "Akhir dari perjalanan para thalibin (orang-orang yang mencari) adalah ketika mereka telah berhasil menundukkan nafsunya. Siapa pun yang demikian keadaannya telah berhasil dan sukses. Sebaliknya siapa saja yang dikalahkan oleh nafsunya telah gagal dan hancur. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,"Adapun orang yang derhaka, lagi mengutamakan kehidupan dunia. Maka neraka Jahimlah tempat tinggalnya. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran Rabbnya, lagi menahan diri dari hawa nafsunya. Maka syurgalah tempat tinggalnya. (An-Nazi'at: 37-41)

Nafsu itu menyeru kepada sikap derhaka dan mendahulukan dunia. Sedangkan Allah Subhanahu wa Talaa menyeru hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari hawa nafsunya. Jadi, hati manusia itu ada di antara dua penyeru. Kadangkala ia condong kepada yang satu, dan kadang pula condong kepada yang lainnya. Di sinilah ujian dan cubaan.

Di dalam Al-Qur'an Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut nafsu dengan tiga sifat: muthmainnah, lawwaamah dan ammaarah bis suu'. Selanjutnya manusia berbeza pendapat, apakah nafsu itu satu dan yang tiga adalah sifatnya? Ataukah setiap manusia itu memiliki tiga nafsu.

Pendapat pertama adalah pendapat fuqaha' dan para mufassir. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat majoriti ahli tasawuf. Tetapi pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara dua pendapat ini. Sebab memang nafsu itu satu jika ditinjau dari sisi dzatnya, dan tiga jika ditinjau dari sisi sifatnya.

NAFSU MUTHMAINNAH

Apabila nafsu tenang dan tenteram dengan zikrullah, tunduk kepada-Nya, rindu akan perjumpaan dengan-Nya, serta jinak kala dekat dengan-Nya, maka kepadanya dikatakan – ketika menemui ajalnya -,"Wahai nafsu muthmainnah! Pulanglah kepada Rabbmu dengan penuh ridla dan diridhai! (QS Al-Fajr: 27-28)

Ibnu Abbas menafsirkan muthmainnah dengan mushaddiqah, membenarkan kebenaran.

Qatadah berkata, iaitu seorang mukmin yang nafsunya tenang dengan apa yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Tenang di pintu ma'rifah terhadap asma' dan sifat-Nya dengan berdasarkan khabar dari-Nya (al-Qur'an) dan dari Rasul-Nya (as-Sunnah). Tenang atas khabar yang datang tentang apa yang terjadi setelah kematian, alam barzakh, dan kejadian di hari kiamat, seakan-akan melihatnya dengan mata. Tenteram atas takdir Allah, menerima dan meridhainya, tidak benci dan berkeluh kesah, tidak pula tergoncang keimanannya, tidak berputus asa atas sesuatu yang lepas darinya, pun tidak berbangga atas apa yang dimilikinya. Sebab, semua musibah telah ditakdirkan oleh-Nya jauh sebelum musibah itu sampai kepadanya, bahkan sebelum ia diciptakan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:"Tidak ada musibah yang datang kecuali dengan izin dari Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, nescaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya". (At-Taghabun: 11)

Tidak sedikit dari para salaf yang menafsirkannya sebagai seseorang yang ditimpa musibah, ia mengerti bahawa musibah itu datang dari Allah, sehingga ia ridha dan pasrah.

Adapun yang dimaksud dengan thuma'ninah ihsan adalah ketenangan seseorang dalam melaksanakan perintah dengan ikhlas dan setia. Tidak mendahuluinya dengan satu keinginan atau pun hawa nafsu. Juga bukan kerana ia tidak dihinggapi suatu syubahat yang mengaburkan khabar-Nya, atau syahwat yang bertentangan dengan perintah-Nya. Bahkan jika suatu ketika datang, ia akan menganggapnya sebagai gangguan yang baginya lebih baik terjun dari langit ke bumi daripada mengecapnya, walau sesaat. Inilah yang dimaksud oleh Nabi sebagai sharimul iman (iman yang jelas). Juga, ia tenang dari kegelisahan untuk bermaksiat dan gejolaknya menuju taubat dan kenikmatannya.

Bila diri tenang telah berpindah dari keraguan kepada keyakinan, dari kebodohan kepada ilmu, dari kealpaan kepada dzikir, dari khianat kepada taubat, dari riya' kepada ikhlas, dari kedustaan kepada kejujuran, dari kelemahan kepada semangat yang membaja, dari sifat 'ujub kepada ketundukan, dan dari kesesatan kepada ketawadhuan, ketika itulah nafsu telah tenteram, muthmainnah.

Dasrdari itu semua adalah yaqazhah, kesedaran. Kesedaranlah yang menyibak kealpaan dan kelalaian diri. Ia pulalah yang menampakkan baginya taman syurga. Ia bersenandung.

Tahukah kau, duhai nafsu?
Celaka bila… engkau bergembira
Bantu aku dalam pekatnya malam
Moga cita nikmat hidup… dalam menjulang
Sesudah hancur segala

Di bawah cahaya kesadaran, diri akan melihat semua yang diciptakan untuknya. Juga, apa yang akan ditemuinya di alam barzakh, sampai memasuki negeri abadi. Ia juga melihat betapa cepat dunia berlalu, betapa sedikit dunia memberikan kenikmatannya kepada anak-anaknya dan orang-orang yang merindukannya, dan betapa dunia membunuh mereka dengan belati-belatinya. Maka bangkitlah ia seraya berseru:"Duhai, betapa meruginya aku atas keteledoranku di sisi Allah" (Az-Zumar: 56)

Selanjutnya, ia akan menggunakan sisa umurnya untuk melengkapi kekurangan, menghidupkan yang telah ia matikan, membenahi puing-puing masa silam, dan memanfaatkan setiap kesempatan – yang jika terlewat, terlewat pulalah seluruh kebaikan.

Masih di bawah cahaya kesedaran dan cahaya nikmat Rabbnya kepadanya, ia melihat betapa ia tak mampu lagi menghitungnya, betapa ia tak mampu memenuhi haknya, betapa ia penuh dengan aib, juga amal-amalnya yang rusak, kejahatan-kejahatannya, dosa-dosanya, serta kelalaiannya terhadap tugas dan kewajiban yang tidak sedikit.

Akhirnya luluh sudah nafsunya, khusyu' sudah anggota badannya, dan ia pun berjalan menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan kepala tertunduk oleh banyaknya nikmat yang ia saksikan serta kejahatan, aib dan dosa dirinya.

Kini, ia tahu betapa berharga waktu yang dimilikinya. Juga bahawa ia adalah modal utama kejayaannya. Maka bakhillah ia terhadapnya jika bukan untuk usaha mendekatkan diri kepada Rabbnya. Sungguh, membuang-buang waktu adalah kerugian, sedangkan menjaganya adalah kemenangan dan keberuntungan.

Inilah buah dari yaqazhah dan implikasinya, yang merupakan langkah awal dari nafsu muthmainnah dalam perjalanannya menuju Allah dan kampung akhirat.

NAFSU LAWWAMAH

Ia adalah nafsu yang selalu berubah keadaan. Ia sering berbalik, berubah warna. Kadang ia ingat, kadang alpa. Kadang ia sedar, kadang berpaling. Kadang ia cinta, kadang benci, kadang ia gembira, kadang sedih. Kadang ia ridha, kadang murka. Kadang ia taat, dan kadang ia khianat.

Sebagian orang mendefinisikannya sebagai nafsu seorang mukmin. Al-Hasan al-Bashri berkata, "Seorang mukmin itu selalu mencela (lawwamah artinya banyak mencela) dirinya. Ia terus berkata: Apa yang kau inginkan dari semua ini? Mengapa kau lakukan ini? Sungguh ini lebih baik daripada yang ini! Atau yang semisalnya."

Ada juga yang mengertikannya dengan celaan pada hari kiamat. Pada hari itu setiap peribadi akan mencela dirinya sendiri. Jika ia pendurhaka, atas kedurhakaannya, dan jika ia seorang yang taat, atas kelalaian dan kekurangannya. Ibnul Qoyyim berkata, "Semua pengertian di atas benar."

Lawwamah itu ada dua. Lawwamah yang tercela dan lawwamah yang sebaliknya.Yang pertama adalah nafsu yang dungu dan menganiaya diri sendiri. Ia dicela oleh Allah dan para malaikat. Sedangkan yang kedua adalah nafsu yang selalu mencela pemiliknya karena kekurangannya dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala – padahal ia sudah berusaha sekuatnya – Nafsu ini tidak dicela. Bahkan nafsu yang paling utama adalah nafsu yang mencela diri atas kekurangtaatannya kepada Allah, dan ia siap menerima celaan dalam menggapai ridha-Nya. Demikianlah ia terbebas dari celaan Allah. Berbeza dengan orang yang puas atas amal yang dikerjakannya, dan ia tidak dicela oleh nafsunya, lalu tidak siap menerima celaan dalam menggapai ridha-Nya. Dialah yang dicela oleh Allah.

NAFSU AMMARAH BIS SUU'

Inilah nafsu yang tercela. Ia selalu mengajak kepada keburukan, dan itu memang tabiatnya. Tidak ada seorang pun yang dapat selamat dari kejahatannya selain orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah subhanahu wa ta'ala. Allah mengisahkan tentang isteri menteri al-Aziz,"Dan aku tidak berlepas tangan dari nafsuku. Sesungguhnya nafsu itu selalu menyeru kepada kejahatan. Kecuali yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Yusuf: 53)

Dan firman-Nya,"Sekiranya bukan kerana kurnia dan rahmat Allah kepada kalian, niscaya tidak ada seorangpun dari kalian yang bersih-suci, selamat-lamanya." (An-Nur: 21)

Rasulullah Shalalallahu alaihi wa salam mengajarkan kepada para sahabat khutbah hajah, "Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita juga berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kita dan keburukan amal-amal kita."

Kejahatan itu tersimpan di dalam nafsu. Ia akan mengajak kepada amal-amal yang buruk. Apabila Allah membiarkan seorang hamba bersama nafsunya, ia akan binasa di tengah-tengah kejahatan nafsu dan amal buruknya. Apabila Allah memberikan taufiq dan memberikan pertolongan kepadanya, nescaya selamatlah ia dari semuanya. Oleh kerananya kita memohon kepada Allah yang maha Agung untuk melindungi kita dari kejahatan nafsu dan amal buruk kita.

Ringkas kata, nafsu itu satu saja. Ia bisa menjadi ammarah, lawwamah atau muthmainnah, yang merupakan puncak kebaikan dan kesempurnaannya.

Diambil dari buku Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, dan Imam Ghazali, ditahqiq oleh Dr. Ahmad Farid.

Written by MT Aminudin

No comments: